SELAMAT DATANG DI BLOG MUHBIB ABDUL WAHAB

21 Nov 2010

Haji yang Membebaskan

Oleh Muhbib Abdul Wahab

Suatu ketika, Ibrahim bin Adham menunaikan haji ke Baitullah dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan seorang Arab Badui yang menaiki unta. Orang Badui itu bertanya, "Wahai kakek, mau kemanakah Engkau?" Kemudian, Ibrahim menjawab, "Ke Baitullah."

"Bagaimana bisa sampai ke sana, padahal Anda berjalan kaki dan tidak punya kendaraan?" tanya si Badui. "Saya punya banyak kendaraan," jawab Ibrahim. "Kendaraan apa sajakah itu?" tanya si Badui lagi.

Ibrahim menjawab, "Jika ada kesialan menimpaku, aku mengendarai 'sabar'. Jika kenikmatan diberikan kepadaku, aku mengendarai 'syukur'. Jika ada yang ditakdirkan untukku, aku kendarai 'kerelaan'. Dan, jika nafsuku mengajak untuk melakukan sesuatu, aku kendarai 'pengetahuanku', bahwa apa yang tersisa dari umurku tak lebih banyak dari yang telah kugunakan."

Sepenggal kisah di atas sarat pelajaran moral. Sejatinya, ibadah haji merupakan perjalanan demi pembebasan diri dari penjara dunia (status sosial, ekonomi, dan politik), penjara nafsu, dan penjara masa lalu (sejarah) menuju orbit spiritualitas dan otentisitas sebagai hamba.

Haji bukan semata ritualitas fisik yang menguras tenaga, tapi otentisitas cinta Ilahi yang melejitkan kedalaman spiritual dan keluhuran moral. Sebagai pembebas dari penjara dunia, haji harus dimulai, dikawal, dan diparipurnakan dengan kendaraan keikhlasan.

"Dan, hanya karena Allahlah mengerjakan haji itu adalah kewajiban manusia, yaitu bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah..." (QS Ali Imran [3]: 97). "Dan, sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah... " (QS Al-Baqarah [2]: 196).

Haji yang ikhlas karena Allah semata adalah kunci pembebasan diri dari segala aksesori duniawi. Dalam Alquran, hanya ibadah haji yang redaksi pengwajibannya diawali dan diakhiri dengan kata Lillahi. Jika tidak Lillahi, boleh jadi haji tak berpengaruh apa-apa terhadap kualitas hidup seseorang.

Sebagai pembebas nafsu, haji ibarat proses pembelajaran dan pembekalan hidup bermakna, yakni hidup yang terbebas dari penjajahan nafsu, syahwat, angkara murka, serakah, egoisme, dan sebagainya. Karena itulah, modal pembelajaran yang terbaik untuk perjalanan haji adalah takwa. "Dan, bawalah bekal, karena sebaik-baik bekal adalah takwa..." (QS Al-Baqarah [2]: 197). Takwa adalah pakaian integritas moral yang membentengi dari segala godaan hawa nafsu, baik selama berhaji maupun sepulang haji.

Ibadah haji juga harus didesain untuk membebaskan diri dari masa lalu yang tak baik dan sarat dengan dosa personal serta sosial. Karena itu, ketika memenuhi panggilan-Nya, hamba harus melakukan taubatan nashuha dan berkomitmen tak kembali ke masa silam yang kelam.

Ia harus mereformasi iman, ilmu, dan amal demi masa depan yang lebih bermakna. Sepulang haji, moralitasnya wajib menjadi lebih terpuji, etos belajarnya dan kinerjanya semakin meningkat. Kemabruran haji tak bisa dibeli, tapi harus diniati, diperjuangkan, dan dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.


Selengkapnya...

15 Nov 2010

Berkurban Itu Bentuk Manisfestasi Rasa Syukur

Ditulis oleh Muhammad Nurdin

Bulan ini merupakan bulan bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji adalah ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengannya, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji yang dilanjutkan dengan Idul Adha atau hari berkurban. Idul Adha dan peristiwa kurban yang setiap tahun dirayakan umat muslim di dunia seharusnya tak lagi dimaknai sebatas proses ritual, tetapi juga diletakkan dalam konteks peneguhan nilai-nilai kemanusiaan dan spirit keadilan, sebagaimana pesan tekstual utama agama. Untuk lebih jauh lagi memhbahas hal itu, berikut wawancara Muhammad Nurdin dari UIN Online dengan Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Dr Muhbib Abdul Wahab di ruang kerjanya, Jumat (12/11).

Apa makna Idul Adha bagi umat Islam?
Idhul Adha artinya hari raya kurban, dalam bahasa Arab itu ada tiga istilah yang digunakan untuk menunjuk arti kurban. Ada istilah kurban itu sendiri, udlhiyah yang kemudian diambil untuk istilah Idhul Adha, dan an-Nahr, ketiga makna ini yang saling berdekatan. Pertama an-Nahr artinya menyembelih binatang. Kedua udlhiyah yang artinya binatang sembelihan, dan ketiga kurban yang artinya penyembelihan hewan kurban itu sendiri bertujuan semata-mata untuk mendekatkan diri pada Allah.

Menurut hemat saya, berkurban itu bukan hanya semata-mata menyembelih atau mengalirkan darah tetapi bagaimana dengan berkurban orang itu bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah dan sekaligus mendekatkan diri kepada sesama. Itu esensi yang paling utama.

Ada makna lain?
Makna lain dari berkurban adalah berkurban merupakan manisfestasi dari rasa syukur seorang mukmin atas pemberian rahmat dari Allah. Oleh karena itu, ketika Allah mewajibkan untuk berkurban maka dengan segera lah kita laksanakan. Dalam al-Qur’an surah al-Kautsar ayat 1-3 sudah dijelaskan tentang anjuran untuk berkurban itu sendiri.

Nah, dalam hal ini saya cenderung berpendapat bahwa kurban itu hukumnya wajib “bagi yang mampu” karena dua alasan. Pertama, perintah shalat dan perintah berkurban itu disandingkan “setara”, jadi jangan disimpulkan shalatnya wajib lantas perintah berkurban itu di tinggalkan atau disimpulkan sunah muakkadah. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Hanafi bahwa berkurban itu wajib.

Kedua, dalam hadits Nabi yang artinya “ barang siapa yang mempunyai kelapangan rizki tetapi tidak berkurban maka jaganlah sekali-kali orang itu mendekati masjid atau musholla kami”. Hadits ini menunjukan adanya kewajiban untuk berkurban. Selain itu, bahwa shalat sebagai ibadah ritual dan personal tidak bisa dipisahkan dari ibadah kurban sebagai ibadah sosial. Saya ditegaskan sekali lagi, selain merupakan rasa syukur berkurban merupakan wujud dari manisfestasi ibadah personal ritual yang akan menjadi ibadah sosial.

Lantas, adakah keterkaitan antara berkurban dengan Ibadah Haji ?
Kaitannya sangat luar biasa. Karena ibadah dalam Islam selalu ada figur teladannya. Dalam kontek ini adalah Nabi Ibrahim AS. Idul Adha juga merupakan refleksi atas catatan sejarah perjalanan kebajikan manusia masa lampau, untuk mengenang perjuangan monoteistik dan humanistik yang ditorehkan Nabi Ibrahim. Idul Adha bermakna keteladanan Ibrahim yang mampu mentransformasi pesan keagamaan ke aksi nyata perjuangan kemanusiaan. Dalam konteks ini, mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan sebuah ujian Tuhan, sekaligus perjuangan maha berat seorang Nabi yang diperintah oleh Tuhannya melalui malaikat Jibril untuk mengurbankan anaknya. Peristiwa itu harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang menunjukkan ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan seorang Ibrahim pada titah sang pencipta.

Yang ingin saya tegaskan, bahwa pemfiguran atau pemodelan dalam konteks pelaksanaan ibadah baik ibadah ritual maupun sosial itu menjadi sumber energi atau motivasi bagi kita seperti Nabi Ibrahim. Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani.

Kaitan antara Idhul Adha dengan ibadah haji itu sangat erat sekali. Dalam surat al-Kautsar sudah ada penegasan bahwa antara shalat dan berkurban itu setara, yang semuanya itu bermuara semata-mata mengharapkan ridha Allah. Oleh karena itu, jika kita ingin berkurban maka yang muncul adalah berbagai godaan atau bujuk rayu syaitan. Hal ini sesuai dengan momentum pada tanggal 10 Dzulhijjah yang dilanjutkan dengan hari Tasyrik 11, 12, dan 13 Dzulhijjah dimana para jamaah haji diwajibkan melempar jumrah atau belenggu hidup ”melemper syaitan “ sebagai lambang untuk membuang sifat egois, sombong, sifat kebinatangan, riya dan takabur yang melekat pada diri manusia. Oleh karena itu, menyembelih bukan semata mengalirkan darah akan tetapi untuk menghilangkan tabiat buruk yang ada dalam diri kita.

Belum lama ini pemerintah telah menetapkan bahwa Idhul Adha jatuh pada tanggal 17 Nopember 2010, sementara di satu pihak ada yang menetapkan tanggal 16, lantas Bagaimana cara mensikapi perbedaan tersebut?

Ikhtilaf al-Ulama Rahmatun artinya perbedaan dikalangan ulama itu rahmat. secara pribadi lebih cenderung meyakini bahwa kebijakan pemerintah “moderat”. Disatu sisi ada yang mengatakan bahwa kebijakan pemerinah itu cukup moderat hal ini dapat dilihat dengan melibatkan ormas dan lain-lain. Tapi saya melihat begini, ada sesuatu yang masih menjadi dasar metedologis bahwa kalau bulan tidak bisa dilihat maka dasar penetapannya bisa digenapkan. Lantas yang jadi pertanyaan saya adalah apakah yang tidak bisa dilihat itu lantas tidak ada wujudnya pada waktu itu.

Kemudian begini, saya berusaha untuk rasional saja bahwa kita ini kaum yang sudah bisa menghitung beda dengan masa Nabi yang pada waktu itu intrumennya hanya ru’yah sebab pada waktu perintahnya hanya ru’yah saja. Secara pribadi saya cenderung, bahwa dasar penetapan itu okelah pake ru’yah tetapi bila bertentangan dengan hisab saya kira dengan alasan atau keilmuan bahwa hisab itu lebih akurat menurut saya yang rasional itu yang didahulukan sebab bukan pada wilayah ta’abudi akan tetapi sudah masuk pada taakuli. Nah disinilah penting nya ilmu pengetahuan berperan menentukan awal dan akhir bulan.

Dalam konteks ini saya tidak ingin mengatakan adanya dikotomi antara Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) atau yang lainnya. Tapi setidaknya pemerintah bisa berfikir jernih, dan bijak. Jangan karena pemerintah “penguasa” di Kementrian Agama lantas cenderung ke pihak mayoritas yang ada di departemen agama saja, tanpa menengok kalangan minoritas. Terutama dalam konteks iklim di indonesia yang sulit diprediksi sering ada gangguan awan, dan seterusnya. Maka menurut hemat saya kedepan terutama dalam penentuan awal dan akhir ramadhan maupun haji harus ada kesepakatan awal terutama pada penetapan kriteria penetapan wujud hilal.

Menurut Anda, adakah bentuk kepekaan sosial di hari Kurban?
Ada, sebab kepekaan sosial bisa dibangun kapanpun dan dimana pun. Di awal saya sudah katakan bahwa ibadah personal maupun ibadah ritual itu harus membuahkan ibadah sosial yang diwujudkan dalam bentuk kepekaan, solidaritas, kesetiakawanan. Semua aktifitas ibadah dalam Islam itu bermuara pada kepekaan sosial. Misalnya shalat yang diakhiri dengan salam ”saling bersalaman”, puasa yang diakhiri dengan zakat fitrah, termasuk ibadah haji dirayakan dengan Idhul Adha dan ditindak lanjuti dengan berkurban.

Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa kita harus senantiasa respek dan peduli terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya. Di syari’atkannya kurban, kita dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.

Yang ingin saya tekankan adalah bahwa berkurban bukan semata-mata menyembelih hewan tetapi dengan kurban itu kita bisa memperdayakan orang-orang miskin. bagaimana hewan-hewan kurban sebelum di kurbankan itu sudah ada yang menangani dari mulai pengadaan hewan, peternakan, pencarian rumput sampai pendistribusian. Dari hewan kurban inilah bagaimana orang-orang miskin dapat diuntungkan, bahkan para fakir miskin akan naik status dari penerima hewan kurban naik statusnya menjadi muzakki atau mudhohi karena ekonominya sudah diberdayakan, atau dia sudah ikut sertakan dalam proses penyembelihan saja, akan tetapi dalam pengadaan hewan tersebut. Jadi, ibadah kurban ini mempunyai peluang yang cukup besar, untuk memberdayakan orang-orang miskin. Sejauh ini baru segelintir orang maupun lembaga yang baru memberdayakan fakir miskin untuk mengelola hewan kurban. Memang awalnya sulit dan sedikit yang kita terima, tapi akhirnya kita merasa puasa karena bisa membantu fakir miskin dengan meminjamkan modal untuk usaha ternak kurban.

Selengkapnya...

1 Nov 2010

Tips Menjadi Guru Hebat (The Great Teacher)

Diadaptasi & Dielaborasi dari Prof. Mary Gallaghar (University of Canbera Australia)
Oleh Muhbib Abdul Wahab

Jangan tanggung-tanggung kalau menjadi guru. Jadilah guru yang hebat dan teladan. Guru hebat ditandai dengan 5 indikator: (1) kualitas diri, (2) integritas moral, (3) kedalaman ilmu, (4) keterampilan (terutama mendayagunakan metode dan media), dan (5) komitmen (adanya panggilan jiwa dan penuh tanggung jawab).
Menjadi guru hebat menuntut keahlian dan keterampilan tersendiri, karena guru hebat harus menjadi komunikator, motivator, inspirator, dan pembangun kepribadian dan karakter siswa/mahasiswa. Guru hebat harus mau dan mampu melakukan, minimal 6 hal:
  1. Memiliki keinginan untuk mengenal, menyentuh hati siswa serta melibatkannya dalam proses pembelajaran. Ketika berkomunikasi dengan mereka , guru harus bisa melakukan kontak mata sekaligus kontak hati. Semakin mengenal jati diri siswanya, guru seharusnya semakin arif dan bisa mendekati serta membangun kerjasama yang saling menguntungkan.
  2. Mengomunikasikan tujuan dan harapan secara eksplisit. Ketika mengawali proses pembelajaran di dalam kelas, idealnya guru dapat meyakinkan mereka bahwa tujuan dan harapan yang hendak dicapai pada jam pelajaran ini penting dan baik.
  3. Menyiapkan dan menjadikan bahan ajar menarik, menantang, dan merangsang (menstimulir).
  4. Mendorong siswa/mahasiswa berpikir kritis dan kreatif, dan memberanikan mereka menerapkan pengatahuan yang sudah dipahaminya secara praktis. Guru bahasa Arab misalnya harus mampu member contoh berbicara dalam bahasa Arab secara baik berikut membisakan dan membiasakan mereka berbahasa Arab.
  5. Melakukan kontekstualisasi dengan dunia nyata. Materi yang diajarkan seoptimalkan mungkin dikaitkan dengan perkembangan sosial, budaya, ilmu, pendidikan dan sebagainya, sehingga menjadi lebih menarik dan dinamis.
  6. Masuki “dunia siswa/mahasiswa, dan jangan paksakan dunia guru dimasukkan dalam dunia mereka.” Senada dengan itu, Imam Ali bin Abi Thalib menyatakan: “Didiklah anak-anak sesuai dengan konteks zaman mereka, karena mereka akan hidup di zaman yang berbeda dengan zaman kalian.”
Ada sejumlah langkah menuju guru hebat:
  • Menunjukkan model pembelajaran yang hebat (guru sebagai model teladan)
  • Membelajarkan bagaimana (cara) belajar yang efektif bagi siswa/mahasiswa
  • Beristiqamah dengan prinsip: “Latihan dan praktik yang intensif membuat siswa/mahasiswa semakin belajar, memahami pelajaran dan terampil.” Proses pembelajaran kita seringkali kering dari latihan, praktik, dan aplikasi nyata dari teori yang telah dikatahui.
  • Berani, peduli, dan menjalin hubungan atau komunikasi yang intens dan positif dengan siswa/mahasiswa.
  • Meyakini dan mempraktikkan ekspektasi (harapan) yang tinggi. Guru yang hebat harus berpikir positif, optimis, dan futuristik.
  • Mendorong kesadaran diri dan tanggung jawab secara moral dan professional. Guru hebat bukan semata-mata mengemban tanggun jawab profesinya, tetapi juga akan dimintai pertanggungjawaban secara moral di hadapan umat dan Tuhan.
Guru hebat adalah guru yang memiliki karakter sebagai berikut:
  1. Menstimuli dan memberikan tantangan kepada siswa/mahasiswanya ke arah prestasi yang lebih tinggi dan menuju kemajuan masa depan yang lebih prospektif.
  2. Menyatakan standar kompetensi dan target-target ekspetatif kepada mereka.
  3. Mempartisipasikan mereka dalam perencanaan, proses dan program pembelajaran secara konstruktif dan produktif.
  4. Menggunakan metode dan media yang efektif, kontekstual dengan tujuan, materi, perkembangan peserta didik, dan kondisi yang ada.
  5. Memberikan umpan bali (feedback) yang konstruktif. Guru hebat tidak semata-mata memberi tugas kepada siswa/mahasiswanya, tetapi juga harus member respon, koreksi, revisi, pengayaan materi, dan inovasi-inovasi lainnya.
Pada akhirnya guru hebat harus menyontoh Rasulullah Saw. dalam mendidik para sahabatnya. Beliau menyatukan antara kata dan tindakan nyata. Beliau memahami dan berbicara sesuai dengan tingkat kemampuan para sahabatnya: memotivasi bukan mengintimidasi, mempermudah bukan mempersulit, menyederhanakan bukan merumitkan. Terkadang beliau mendidik dengan contoh, dengan dialog, dengan kisah, dengan sejarah, dan aneka pendekatan lainnya. Guru hebat adalah guru yang bisa memanusiakan manusia yang berkarakter dan bermoral luhur.

Salam sukses dari Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan FITK UIN Jakarta
Jum’at, 4 Juni 2010

Selengkapnya...